Membangun Jaringan Umat
Sumargono bukanlah sosok politisi dan dai yang muncul karena fasilitas
yang didapat dari kebaikan atau belas kasihan orang lain. Ia juga bukan
tipikal politisi yang tampil bak selebritis yang ?dimanjakan?oleh
publisitas agar namanya selalu ?terjaga? dan ?melambung? dengan segenap
kosmetik politik yang penuh ?cover?, atau membutuhkan stamina permainan
yang selalu menyiapkan citra diri (image) yang dibangun lewat
jargon-jargon atau cerita mistik guna mengabsahkan kehebatan seorang
tokoh.
Sumargono yang akrab dipanggil Gogon adalah seorang anak bangsa
sebagaimana aktivis lainnya yang lahir dari suatu pergulatan pemikiran
dan aksi perjuangan sosial dari bawah. Secara alamiah, ketika ia mulai
menemukan pilihan ?ideologi? perjuangan dan manakala sosialisasi yang
secara intens diperolehnya, maka secara naluriah dan hikmah, mulailah ia
terjun ke medan aktivitas di lingkungannya: mengorganisir remaja dan
jamaah Masjid Nurun ala Nurin; belajar berorganisasi dari seniornya di
kampus dan di HMI; mengikuti kursus politik dari Mas Dahlan; belajar
agama dari Kiai Mohammad Sobari. Ia pun berinteraksi secara
terus-menerus dengan tokoh politik dari kalangan Masyumi seperti Natsir,
Buya Hamka, Buya Malik dan lainnya melalui ceramah-ceramah mereka.
Ditambah dengan buku-buku gerakan yang dibacanya, Gogon mulai menapak ke
padang dakwah di belantara Jakarta pada era 1970-1980-an. Ia berceramah
dari mushola ke mushola, dari halaqoh ke halaqoh di kampus-kampus,
lingkungan remaja masjid dan aktivitas training yang dilakukan oleh
ormas Islam. Nampaknya potensi dan talenta Gogon mulai tergosok untuk
menjadi sosok figur yang dikenal. Sikap kritisnya menjadikan dirinya
sebagai sasaran ?tembak? di masa rezim Orde Baru, bahkan ia dicap
sebagai orang ?berbahaya? atau dangerous man.
a. Membangun kantong-kantong binaan. Gogon tidak berhenti sampai di
sini. Ia lalu bergabung dengan Korps Mubalig (KMJ) Jakarta pada 1980-an,
sebuah organisasi dakwah yang menghimpun segenap dai yang kritis.
Setelah Dalali Umar, ia kemudian menjadi ketua KMJ. Melalui KMJ ini,
mulailah namanya dikenal, terutama di wilayah Jakarta, sebagai
penceramah yang lugas dan keras tanpa kehilangan argumentasi dan fakta
serta dengan cara yang tidak emosional. Wilayah perhatian dakwahnya
menjadi lebih luas ketika KISDI berdiri dan Gogon tampil sebagai ketua
harian wadah tersebut. Kritikannya bertumpu pada kondisi umat Islam yang
selalu dimarjinalkan dan dizalimi dalam kancah politik di satu sisi,
serta gugatannya atas keadaan umat Islam di berbagai wilayah dunia yang
mengalami penderitaan akibat hegemoni Barat terhadap dunia Islam di sisi
lainnya. Kasus bangsa Palestina, Kashmir, Moro, Patani, Afghanistan,
Bosnia, Kosovo, Chechnya, Aljazair, Turki dan Irak menjadi perhatian
dari pernyataan-pernyataan dan pidato Gogon di tengah jamaah pengajian
maupun kalangan pers. Saat itulah ia mulai memasuki wilayah percaturan
politik nasional dan mulai dikenal serta dekat dengan kalangan muda
Islam yang selama 20 tahun berada dalam tekanan politik yang hebat dari
pemerintah Orde Baru. Ia sering diminta berceramah dan memberikan
kursus-kursus intensif soal agama yang dihubungkan dengan
kemasyarakatan. Kemauan yang kuat untuk mau turun membina anak-anak muda
Islam mengingatkan penulis kepada sosok Mas Dahlan Ranuwihardjo. Apakah
Gogon mengambil contoh darinya? Yang jelas ia pernah tinggal dengan Mas
Dahlan selama tiga tahun. Mas Dahlan merupakan salah satu contoh
pejuang politik yang mau membina anak-anak muda secara intens, dinamis
dan ikhlas melalui kursus-kursus politiknya. Ini juga mengingatkan
penulis pada para tokoh besar dalam sejarah, seperti HOS Tjokroaminoto.
Bukankah ia memiliki murid yang kemudian tercatat dalam sejarah besar
bangsa: Soekarno, Kartosuwiryo dan Semaun. Atau Haji Agus Salim, yang
melahirkan murid-muridnya seperti Mohammad Natsir, Soekiman, Mohammad
Roem, Syamsurizal, yang sangat disegani. Demikian pula Mohammad Hatta
dan Syahrir dengan kelompok studinya, dan pemimpin bangsa lainnya yang
juga membina kadernya.
b. Dari kantong binaan ke organisasi nasional Tidak heran bila Gogon
sangat dikenal kalangan muda dan aktivis. Rumahnya yang berada di
kawasan Jakarta Timur, tepatnya di lintasan Jalan H. Baping, pada
saat-saat tertentu sering dijubeli anak-anak muda serta tokoh dari
berbagai lapisan dan wilayah, tidak terbatas dari Jakarta saja. Di
tempat ini secara khusus sering diadakan pelatihan, kursus keagamaan dan
peningkatan wacana keumatan maupun politik. Selain itu, tempat ini juga
menjadi markas untuk mengorganisir sebuah event seperti rapat akbar,
aksi protes, demo, pernyataan pers sampai pada aktivitas yang bersifat
membangun solidaritas serta aksi sosial.
Gogon bagai ?bola bekel? politik, ia menukik ke bawah hingga ke tingkat
massa dan menyentuh aspirasinya, lalu melambung lagi ke atas hingga
akrab dengan kalangan elit politik lainnya. Ia bergerak dinamis, lincah,
karena tanggap terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa dengan
memotivasi massa untuk mau peduli dalam menyuarakan keadilan dan
kemerdekaan. Gogon pun menghimpun berbagai eksponen kekuatan umat
melalui kegiatan silaturahmi secara kontinyu, dan membangun muara
persepsi kepada semua pihak untuk membangun cita-cita bersama. Apabila
di era Orde Baru ia hanya mampu membangun dan masuk jaringan dari
kelompok kecil lalu bergerak ke organisasi sosial yang lebih formal dan
terorganisir dengan berjuang di luar parlemen, maka di era Reformasi
Gogon tampil dalam arena organisasi massa yang lebih luas jangkauannya,
yaitu Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) yang diketuainya; dan
di organisasi politik Partai Bulan Bintang. Menjabat sebagai wakil
ketua umum, ia kemudian masuk di parlemen selaku ketua fraksi dan wakil
ketua DPR guna menyuarakan gagasan dan aspirasi umat Islam. Menurut
Gogon, jaringan umat memang perlu dibangun seperti membuat pelatihan,
perencanaan dan pengorganisasian untuk jangka depan. ?Bersekolah,
melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi dalam rangka
meningkatkan kualitas umat, itu juga membangun jaringan umat,?
ujarnya.[1] ?Saya melanjutkan sekolah S2 bidang Magister Manajer di
IPB, diilhami oleh dorongan ketika duduk di Panitia Anggaran DPR. Di
sana banyak pendekatan angka-angka budget (anggaran), saya perlu
reorientasi, mulanya belajar dengan Sudradjat Djiwandono, dua kali
dilakukan, eh, dia menyuruh saya sekolah. Saya berpikir di sini perlunya
membangun jaringan dengan meningkatkan kualitas dan belajar dengan
siapa pun.? Tetapi bagi Gogon semua itu dilakukan secara ?alamiah
saja.?[2]
Membangun Wadah Perjuangan: KMJ, KISDI dan GPMI
Berdakwah di lapisan bawah (grass roots) bukan perkara yang mudah,
apalagi dakwah yang disampaikannya ?beraroma? kesadaran politik dan
bersikap kritis dengan keadaan yang dihadapi umat di negeri ini. Era
1980-an merupakan era yang penuh getir dan risiko bagi seorang dai
seperti Sumargono. Ia harus siap menghadapi rasa keterasingan
(alienasi), karena apa yang disampaikan, sekalipun dengan jujur dan
tulus ikhlas, bila masuk wilayah politik dapat terkena ?pinalti? dari
pihak keamanan dengan berbagai tudingan. Ini dialaminya ketika masuk ke
?penjara? karena tudingan sebagai aktivis DI/TII. Celakanya pada masa
itu, orang yang masuk dan keluar dari penjara karena persoalan politik
akan mengalami alienasi sosial, karena orang akan ragu, segan untuk
mendekat, khawatir terbawa-bawa akibatnya.
a. Korps Mubalig Jakarta (KMJ). Gogon bergabung dengan Korps Mubalig
Jakarta (KMJ), sebuah lembaga yang menghimpun para mubalig di Jakarta,
pada tahun 1980-an selepas dari tahanan. Korps Mubalig Jakarta lahir
sebagai kepedulian para dai untuk memperkuat barisan guna menghadapi
berbagai isu dan tantangan dalam dunia dakwah. Mulanya KMJ dipimpin oleh
KH. Dalali Umar, namun karena terjadi kemelut, maka kepemimpinan
dipercayakan kepada Sumargono. Organisasi ini sampai sekarang tetap
berdiri dan terus berkembang.
b. Komite Solidaritas Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI). Nama KISDI
tidak asing di kalangan aktivis dan pengamat sosial politik dan
keagamaan, khususnya di kalangan umat Islam. Sejak kelahiran organisasi
ini pada tahun 1986, nama Ahmad Sumargono seakan identik dengan lembaga
tersebut. Komite ini sebenarnya digagas oleh tokoh senior Masyumi yang
disegani yaitu DR. Mohammad Natsir (almarhum) dan sejumlah tokoh lainnya
seperti Hussein Umar, Jam ?at Jufri, Zaqi dan Kholil Ridwan. Mulanya
wadah ini didirikan oleh berbagai kalangan umat untuk merespons dan
membangun solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina. Anggotanya
terdiri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Korps Mubalig
Jakarta (KMJ), Al-Irsyad dan sebagainya.[3] Gogon sendiri diberi
kepercayaan sebagai Ketua Harian KISDI.
Melihat namanya, KISDI seyogianya lebih berorientasi pada kasus-kasus
internasional, akan tetapi dalam prakteknya, lembaga ini lebih banyak
menggugat masalah domestik: kasus jilbab, perjudian, miras, makanan
haram, masalah kristenisasi, sekulerisasi dan Aliran Kepercayaan. Dalam
perkembangannya KISDI juga melakukan social action terhadap berbagai
peristiwa yang diderita umat Islam di berbagai belahan dunia:
penderitaan rakyat Palestina di kamp-kamp pengungsian, Umat Islam di
Kashmir, Filipina Selatan, Afghanistan, Bosnia-Herzegovina, Kosovo dan
lainnya. Sebaliknya KISDI sangat getol melakukan pengutukan terhadap
tindakan biadab Israel dan sikap Amerika Serikat yang ?bermusuhan?
terhadap perjuangan umat Islam. Ini dilakukan dengan aksi protes
melalui demo dan unjuk rasa. Selain itu aksi yang bernuansa politis
(political action) juga dilakukan, misalnya protes dalam persoalan
persepsi yang salah atas berbagai kerusuhan di tanah air -- Tasikmalaya,
Kupang, Ambon sampai ke Poso; juga perjuangannya yang penuh komitmen
yang menuntut penerapan syariat Islam. Sikap Gogon sebagai ?komandan?
KISDI yang tanpa tedeng aling-aling ini memang membuat dia sering
dicurigai.
Karena protesnya terhadap berbagai pihak, mulai dari majalah
Jakarta-Jakarta, harian Kompas, dan CSIS, tidaklah mengherankan jika
Gogon dan KISDI dianggap oleh banyak pihak sebagai kelompok yang garang.
?Kami bergerak karena kepentingan umat Islam terancam,? ucap Gogon
sebagai Wakil Ketua KISDI.[4]
c. Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI). Wadah ini lahir di
tengah-tengah suasana eforia sosial dan politik bangsa Indonesia di masa
Reformasi, tepatnya pada bulan Syawal tahun 2000. Gogon sebagai tokoh
utama penggagas ini mendapatkan dukungan yang sangat luas dari berbagai
kalangan dan lapisan masyarakat. Lahirnya wadah ini dilatarbelakangi
oleh suasana eforia bangsa yang berimbas kepada umat Islam. Berdirinya
partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang demikian banyak,
ditambah adanya ?ketegangan? politik antara kalangan Nasionalis Islam
dengan Nasionalis sekuler yang basis pendukungnya juga sama-sama umat
Islam, mendorong untuk berdirinya wadah Islam yang dapat mencairkan
situasi itu. Lebih dari itu kelahiran GPMI diharapkan mampu menjadi
?jembatan emas? untuk merajut silaturahmi di antara berbagai lapisan
elit Islam yang beredar di berbagai organisasi dan partai. Hal lainnya
adalah perlunya wadah yang dapat memberikan perhatian secara lebih
holistik menyangkut problematika umat dan bangsa dan itu hanya dapat
dilakukan bila segenap potensi umat dapat ?duduk? bersama dan
membicarakannya dengan nuansa persaudaraan.
Ketika GPMI dideklarasikan, sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang
aktivitas turut hadir: mulai dari kalangan ulama, partisan, wartawan,
artis, cendekiawan kampus, pemuda, sampai kalangan massa. Dalam suasana
silaturahmi yang diadakan di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan,
tersedia acara-acara penting selain deklarasi itu sendiri. Sambutan
disampaikan H. Ahmad Sumagono, SE selaku Ketua Umum GPMI. Ia menjelaskan
panjang lebar mengenai latar belakang, maksud dan tujuan berdirinya
organisasi GPMI, yang saat ini telah ada sejumlah perwakilan di tingkat
Wilayah dan Cabang. Ceramah disampaikan oleh Prof. DR. Nurcholish Madjid
yang memberikan apresiasinya atas berdirinya GPMI serta Tausyiah yang
disampaikan KH Sukron Makmun, selaku Wakil Ketua Majelis Syuro
organisasi ini. Puncak acaranya adalah pembacaan ?Pernyataan
Keprihatinan? GPMI terhadap berbagai perkembangan nasional yang terjadi,
ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal GPMI. Hadir dalam acara itu
antara lain dari kalangan Partai seperti Taufik Kiemas, Akbar Tanjung,
Bachtiar Chamsyah, Hatta Radjasa, Fahmi Idris, Drs. Ibrahim Ambong, MA,
Drs. Ade Komaruddin, Hamdan Zulva, Zulvan Z.B. Lindan; dari organisasi
Islam antara lain KH. Hasyim Muzadi, Hussein Umar, Din Syamsuddin, Drs.
Nabhan Husein; dari kalangan cendekiawan adalah Bachtiar Effendi,
Winarno Zein; dari praktisi adalah Muchtar Lutfi, SH, Drs. Erlangga
Masdiana, MA; dari kalangan militer adalah Jenderal Hendropriyono, Mayor
Jendral Muchdi; kalangan tokoh muda antara lain Adhyaksa Dault, SH dan
banyak lagi lainnya. Untuk kepengurusan pada jajaran Pimpinan Pusat
adalah DR. Bachtiar Effendi, Drs. Edy Setiawan, Drs. Zahir Khan, SH,
Drs. Muchtar Lutfi, SH, Winarno Zein, SE, Hadi Mustafa Djuraid, Spd,
sebagai sekretaris jenderal adalah Drs. Firdaus Syam, MA.
Pengurus besar GPMI telah melakukan rapat kerja yang dilakukan di
Cisarua Bogor dengan hasil, dirumuskannya AD/ART, Pedoman Kerja
Organisasi dan Struktur Organisasi yang telah disetujui dalam rapat
pleno. Sebagai organisasi yang bergerak pada aktivitas sosial, GPMI
sangat peduli memberikan bantuan dan santunan akibat korban banjir,
kebakaran, gempa bumi, serta pembagian hewan qurban bagi para dhuafa.
Dalam membangun wacana, maka GPMI telah melakukan sejumlah diskusi,
pelatihan bagi para pemuda yang putus sekolah, sampai kepada
menghadirkan pembicara yang profesional di bidangnya, dan melakukan aksi
kritis untuk peduli terhadap aspirasi publik dengan melakukan tablig
akbar. Hal lain adalah melakukan kunjungan ke sejumlah tokoh dan ulama
untuk menguatkan tali silaturahmi, di antaranya menjadi tamu kehormatan
Wakil Presiden Hamzah Haz di kantor dinasnya.
Menuju Ukhuwah Politik
Islam dan dunia politik merupakan dua sisi dalam satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Islam bukan ?agama? yang hanya memberikan
petunjuk mengenai keyakinan akan keberadaan Tuhan dan bagaimana
ritualitas itu harus dilakukan (yang bersifat ubudiah). Sebaliknya,
Islam merupakan din, suatu petunjuk yang memberikan bimbingan atau
guidance mengenai bagaimana manusia itu dapat beriman dengan baik dan
benar, sekaligus beramal shaleh. Lapangan amal shaleh itu dalam
prinsipnya sangatlah luas. Dalam Alquran sangat banyak ayat yang
menyuruh manusia dan orang beriman untuk berpikir, merenung dan
memikirkan kejadian alam, penciptaan dan bagaimana mengambil pelajaran
terhadap kejadian-peristiwa masa lalu, termasuk gambaran suatu kaum,
bangsa, pemimpin yang zalim, fasik dan pemimpin yang alim, dan hikmah.
Alquran juga memberikan penjelasan yang tegas dan nyata mengenai untuk
apa Rasul diutus dan mengapa Islam dikatakan sebagai ajaran yang
sempurna, sebagai ajaran untuk semua zaman.
Relevansinya. Spirit Islam tentang manusia adalah bahwa manusia
diciptakan dari yang satu, dan sesama manusia itu adalah saudara, karena
itu konsep ukhuwah atau persaudaraan menjadi penting. Pertanyaannya,
apakah persaudaraan itu sebatas sholat dan iman, sebatas nilai
spiritualitas untuk tidak saling mencampuri urusan agama di antara
sesama manusia yang memiliki perbedaan, ataukah persaudaraan itu pada
akhirnya akan menyentuh wilayah bagaimana masyarakat, bangsa, negara dan
cita-citanya harus dibina? Bagi logika sosial, apalagi yang hidup dalam
pluralitas masyarakat, penghormatan kepada mereka yang beragama lain
(tidak ada paksaan dalam beragama), dengan perlunya memikirkan ?bersama?
mengenai masalah sosial dan kehidupan masyarakat adalah menjadi dua hal
yang sangat penting. Memikirkan masalah sosial dan kehidupan kenegaraan
dapat dipahami dalam perspektif Islam sebagai gerak amal-amal shaleh
dan Islam memiliki prinsip-prinsip, contoh-contoh, metode-metode atau
pendekatan-pendekatan yang tentu bisa sama atau juga ada kekhasan,
karena perspektif itu memang datang dari dimensi waktu yang berbeda dan
memiliki latar belakang kehadiran misi yang bebeda pula. Dengan demikian
medan ukhuwah Islamiah (sesama seagama) harus juga membangun perspektif
membina ukhuwah politik internal Islam. Ukhuwah politik tersebut berupa
membangun platform, asas perjuangan, strategi dan aksi dengan persepsi
yang sama, yang pada dasarnya agar sesama umat Islam tidak mudah goyah
dan terpecah belah, sebaliknya semakin memiliki kepercayaan diri yang
tinggi, karena pandangan mengenai amal shaleh itu telah terangkum dengan
rumusan dan persepsi yang telah saling dipahami sesama kelompok,
golongan, kekuatan yang ada di kalangan Islam. Dengan demikian ukhuwah
Islamiah dengan ukhuwah politik semakin relevan untuk terus
dikembangkan, apalagi di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen
(majemuk). Di sinilah pentingnya mengimplementasikan tajuk di atas
tersebut.
Sumargono dan Partai Bulan Bintang
Kandungan ajaran Islam membentuk pribadi Muslim dalam dua dimensi,
yaitu: iman dan amal shaleh. Dimensi ini membangun spirit setiap insan
yang bertakwa untuk selalu terpanggil kepada tanggung jawab vertikal
(hablumminallah), yang lebih menekankan ritualitas yang transenden;
sedangkan tanggung jawab horizontal (hablumminannas) lebih menekankan
peran sosial dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek politik.
Seorang Muslim yang sadar atas pemahaman ini, ia akan terpanggil untuk
mengaplikasikan peran-peran itu. Dalam persoalan politik, nafas
perjuangan seorang Muslim dalam membangun platform perjuangannya tentu
tidak akan terlepas dari prinsip ajaran agama Islam. Di antaranya
Alquran memberikan dasar perjuangan seorang Muslim melalui firman Allah
Swt, ?Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi
kepada-Ku? (QS. Azzariyat: 56) dan aplikasi medan perjuangan itu harus
diniatkan dalam kerangka ?amal ma?ruf nahi munkar.? Tidaklah
mengherankan dan sangat logis bila Ahmad Sumargono melakukan pilihan
politiknya dengan kendaraan politik yang berasas Islam, dalam hal ini
Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam organisasi politik tersebut, Gogon
memiliki kedudukan strategis, sebagai wakil ketua umum yang membawahi
Kompartemen Bidang Politik dan Pemerintahan.
Mengenai apa dan bagaimana peranan Gogon dalam Partai Bulan Bintang
(PBB), adalah sangat penting bagi penulis untuk memaparkan partai ini
sebagai organisasi politik yang lahir dan berkembang di era Reformasi,
yang memiliki ikatan historis dan hubungan emosional dengan Partai
Masyumi, partai Islam yang telah eksis sejak masa perjuangan
kemerdekaan.
a. Sketsa Sejarah Islam Politik di Indonesia. Lahirnya sebuah
organisasi, apalagi sebuah partai politik, tidak terlepas dari adanya
kesadaran komunitas dalam lingkungan masyarakat dan bangsa yang
bersangkutan. Kesadaran komunitas tu bukan datang begitu saja, melainkan
tumbuh dari kesadaran budaya, di mana nilai-nilai, norma, dan pandangan
hidup telah melekat dalam komunitas itu melalui proses sosialisasi dan
internalisasi dalam waktu yang lama. Islam merupakan agama yang telah
berkembang di hati bangsa Indonsia di wilayah Nusantara ini, dan
mayoritas penduduk di wilayah ini bahagian terbesar menganut ajaran
Islam dan menjadikan Islam sebagai budaya masyarakatnya. Tidaklah
mengherankan ketika penjajah (kolonialis Portugis, Belanda, dan Jepang)
bercokol di wilayah Nusantara, mereka mendapatkan perlawanan yang kuat
dari penduduknya dengan spirit Islam. Ini dapat dibuktikan bahwa seluruh
pemimpin perjuangan melawan penjajah dirintis oleh para pemimpin agama
seperti Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Sisingamangaraja, Imam Bonjol,
Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Pangeran
Tidore, Pattimura. Perjuangan ini berlanjut di era pergerakan nasional
yang melahirkan pemimpin dan negarawan besar seperti HOS Tjokroaminoto,
KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, A. Hassan, Soekarno, Mohammad Hatta,
Mohammad Natsir, Syahrir, Tan Malaka dan banyak lainnya yang mengaku
dirinya sebagai Muslim. Tidak heran ketika Kemerdekaan terwujud,
lahirlah Masyumi, partai politik dengan asas dan corak perjuangan yang
membawa visi dan misi Islam. Dalam sejarah politik Indonesia modern,
Partai Masyumi telah membuktikan kegigihannya untuk memperjuangkan
syariat Islam ke dalam konstitusi negara. Refleksi dan amanah dari
ajaran Islam serta keinginan umat Islam di Indonesia ini kemudian
tertuang dalam Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah sesuatu yang
menjadi jiwa dasar negara Indonesia. Karena itu Piagam Jakarta bukanlah
?momok politik.? Bersikukuh dengan sikap seperti ini adalah kemunafikan
terhadap kebenaran sejarah itu sendiri.
Namun sejarah berbicara lain. Ketika terjadi persilangan arah di antara
sesama pemimpin yang beragama Islam karena perbedaan cara pandang
ideologis, muara pertentangan itu diakhiri dengan siapa yang harus
disingkirkan dan menyingkirkan di pentas politik anak bangsa Indonesia.
Dunia politik memang tidak dapat diprediksi secara pasti, ia sangat
mudah cair (fluid) atau berubah. Dalam sejarahnya Partai Masyumi
disingkirkan oleh kekuasaan Presiden Soekarno -- semasa Demokrasi
Terpimpin selama 6 tahun, dan tidak dapat hidup kembali selama kekuasaan
Presiden Soeharto -- masa Orde Baru selama 32 tahun. Munculnya era
Reformasi memungkinkan partai Islam bangkit kembali karena era ini
tumbuh dengan spirit demokrasi, mengakui keberadaan komunitas politik
untuk tampil di permukaan kehidupan politik negara dan diakui
eksistensinya dalam kemajemukan politik, yang dalam konteks Indonesia
diikat dengan semangat persatuan dan kesatuan negara.
b. Berdirinya Partai Bulan Bintang (PBB). Upaya untuk merumuskan kembali
berdirinya sebuah partai politik Islam telah mulai dirintis sejak tahun
1998, ketika Forum Ukhuwah Islamiah (FUI) didirikan pada tanggal 1
Agustus 1998, bertepatan dengan 16 Dzulhijjah 1419 Hijriah. Forum ini
kemudian dikembangkan dalam bentuk wadah yang dikenal dengan Badan
Koordinasi Umat Islam (BKUI), berdiri 26 April 1998 bertepatan dengan
1419 Hijriah. Ini kemudian berlanjut dengan kesepakatan bulat pada
tanggal 17 Juli 1998, bertepatan dengan tanggal 23 Rabiul Awal 1419
Hijriah dengan mengikrarkan berdirinya Partai Bulan Bintang (PBB).[5]
Ada peristiwa yang menarik dan penting untuk dijelaskan penulis yang
disari dari penjelasan Yusril Ihza Mahendra, kini menjadi Ketua Umum
Partai. Suatu ketika ia mendapatkan telepon dari Anwar Haryono, Ketua
Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Kontak ini masuk di saat tengah
berlangsungnya suatu upaya yang demikian ?alot? dari berbagai pihak
untuk menggabungkan ?dua tokoh? Islam, Amien Rais dan Yusril Ihza
Mahendra ke dalam garis perjuangan yang seirama, yakni memimpin Partai
Bulan Bintang dengan asas Islam.[6] Akan tetapi sejarah berkata lain dan
bergerak ke arah yang tidak dapat diduga, Amien Rais mengundurkan diri.
Ini menyebabkan keputusan Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang bergeser
kepada Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, S.H, M.A, tokoh muda yang kalem
dan memiliki artikulasi bahasa yang menawan jika ia berbicara. Memang
tidak sedikit kalangan umat umat Islam yang terkejut dan tidak menduga
atas kegagalan memadukan kedua tokoh tersebut. Dengan demikian harapan
besar umat Islam akan ?Dwitunggal? tersebut belum berhasil.[7] Yusril
menjelaskan mengenai hal ini:
Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk partai
yang berasaskan Islam, sementara Pak Amien Rais ingin membentuk partai
yang multiagama, multietnis?Pak Amien Rais bilang PBB platform-nya
kekecilan, ibarat baju sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini
partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini partai yang sesungguhnya
terbuka, semua partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak
membuat partai.[8]
Bagi Yusril, simbol ?Bulan Bintang? di masa lalu pernah digunakan oleh
Partai Masyumi, sebuah partai politik umat Islam yang pada mulanya
dimaksudkan akan menjadi satu-satunya partai politik Islam di Indonesia,
ketika partai ini diumumkan berdirinya pada tanggal 11 November 1945.
Yusril sendiri tampil sebagai ketua selain atas dukungan banyak orang,
juga datang dari tokoh Masyumi yang masih hidup seperti DR. Anwar
Haryono, kawan dekat mantan Ketua Umum Partai Masyumi DR. Mohammad
Natsir. Ini dikemukakannya sewaktu berbicara dalam sambutan Musyawarah
Kerja Nasional I (Mukernas I) Partai Bulan Bintang.[9] Kedudukan Yusril
Ihza Mahendra kemudian dikukuhkan melalui Muktamar I Partai Bulan
Bintang di Jakarta, 26 April - 1 Mei 2000, forum tertinggi partai dalam
mengambil berbagai keputusan strategis partai.
Mengenai partai ini banyak mengambil inspirasi dari Partai Masyumi di masa lalu, dikatakannya sebagai berikut:
?memang benar partai ini mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan
kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari
ide besar yakni Islamic Modernization? selama dua belas tahun Pak Natsir
saya anggap sebagai mentor politik, dan dari beliaulah saya mengenal
para pemikir Islam.[10]
c. Ahmad Sumargono dan PBB. Berdirinya partai dengan menjadikan agama
sebagai ?trade mark? platform perjuangan politiknya mendapatkan kritik
yang cukup mengagetkan. B.J.Habibie, ketika itu menjabat sebagai
Presiden RI, melakukan kritik, ?Partai-partai baru yang nanti didirikan
tidak boleh mengandung SARA,? ujarnya. Nurcholish Madjid pun sependapat.
?Meski dari sisi kebebasan berserikat boleh, sebaiknya tidak
mengatasnamakan agama,? ujar tokoh Paramadina itu.[11] Akan tetapi para
pendukung berdirinya partai Islam pun mempunyai alasan. Ketua KISDI
Ahmad Sumargono ikut bersuara, ?Mereka yang berpikiran semacam itu telah
terbawa strategi global depolitisasi Islam.?[12]
Gogon sangat konsen dengan pribadi Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya,
Yusril itu anak muda yang berhasil dalam pendidikan, cerdas, lebih dari
itu, sebagai ketua umum jika berdebat selalu leading. Ia berpotensi
untuk menjadi pemimpin Nasional. Jabatannya sebagai Menteri baik di masa
Gus Dur maupun di era Megawati semata didasari kemampuan yang
profesional. Ketika terjadi rivalitas antara B.J. Habibie dengan
Megawati dalam pertarungan perebutan kursi Presiden, Gogon menyebutkan
kemungkinan calon alternatif: ?Jika ada yang lebih baik, ya mungkin
saja. Yusril Ihza Mahendra bisa, namun selain masih muda, ia juga perlu
waktu untuk menghapus citra sebagai orang dalam lingkaran Sekretariat
Negara, karena bekerja di sana.?[13] Mengenai masalah kepemimpinannya
di intenal PBB, ada beberapa catatan Gogon: pertama, kurang turun ke
bawah, padahal jika ini dilakukan sungguh luar biasa pengaruhnya bagi
dukungan partai; kedua, Masalah kepemimpinan, memang agak berat,
tampaknya ada ?kecemburuan? dan persaingan yang tidak sehat, karena
melihat pribadinya; ketiga, dengan lugas Gogon mengatakan, ?Saya pernah
bilang, sebaiknya jangan jadi orang nomor satu dulu, jadilah orang nomor
dua di Indonesia untuk masa pemilihan Presiden sekarang. Saya juga
mengusulkan agar Susilo Bambang Yudoyono dijadikan partner dalam proses
kepemimpinan ke depan dan masukkan dia ke ?lingkungan Partai.? [14]
Mengenai kelebihan Partai Bulan Bintang, Gogon menyebutkan,
?Kelebihannya pada unsur sentimen Masyumi yang terus terang saja, paling
nyata. Pembangunan wilayah di PBB itu paling sempuirna, enggak hanya
asal daftar, tiap cabang, ranting, punya kantor, dan itu peninggalan
Masyumi. Orang-orang lamanya masih fanatik. Selain itu, PBB tidak
memperjuangkan orang, tetapi sistem, maka Amandemen terhadap UUD 1945
tetap akan diperjuangkan, sebab kuncinya di situ. Kalau tidak, akan
tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan.? Dalam soal kepemimpinan di
PBB, menurut Gogon, kepemimpinan bersifat kolektif. ?Tanpa Yusril Ihza
Mahendra, kami tetap akan jalan.[15] Kita lihat bahwa hanya dalam waktu
tiga bulan, 25 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PBB telah terbentuk.?[16]
Hal lain yang akan diperjuangkan PBB, menurut Gogon, adalah mengenai
dimasukkannya syariat Islam ke dalam konstitusi negara, Piagam Jakarta
mesti dihargai. Mengenai ketakutan sejumlah kalangan terutama non-Muslim
bila syariat Islam ditegakkan, itu hal yang berlebihan. Karena Islam
sendiri sangat toleran dan menghargai perbedaan, temasuk dalam urusan
agama. Malah dalam sejarah membuktikan, banyak pemimpin Islam yang
sangat demokratis. Mereka tak takut berbeda pendapat, bahkan siap
diluruskan jika melakukan kesalahan.[17]
Dalam kiprahnya di Partai Bulan Bintang, di mana ia menjadi salah satu
pimpinan teras partai yang dibidani kalangan Masyumi tersebut, Gogon
termasuk anggota, fungsionaris yang aktif sejak partai ini mulai
dirintis sampai terjadinya deklarasi pendirian partai. Kehadiran Gogon
di Partai turut pemberi warna ?wajah? partai. Ia merupakan kombinasi
yang saling melengkapi dengan Yusril Ihza Mahendra. Yusril bertipikal
romantis, filosofis dan artikulatif dalam menyampaikan visi, misi
perjuangan partai; sedangkan Sumargono bersifat populis,
evokatif-gamblang dalam mengemukakan pendapat, responsif dan artikulatif
untuk membuka komunikasi politik dengan siapa saja. Dalam bahasa
politik, mereka berdua dapat menjadi spirit dan ?ladang? suara Partai
Bulan Bintang.
Komitmen Perjuangan terhadap Dunia Islam
Gogon adalah salah satu tokoh Islam yang sangat terikat untuk secara
terus-menerus menggugah umat dan pemerintah agar tanggap, kritis dan
responsif terhadap berbagai probematika yang dihadapi dunia Islam. Tidak
hanya sekedar berbicara di hadapan pers atau menulis, malah ia sendiri
juga gemar memimpin langsung dan bergabung untuk melakukan aksi-aksi
politik damai sebagai upaya melakukan apa yang ia katakan ?pressure?
terhadap pihak yang bersentuhan dan memiliki tanggung jawab pada
persoalan yang sedang terjadi. Gogon dengan KMJ, KISDI, GPMI dan bekerja
sama dengan berbagai komite, front maupun forum keumatan, selalu
melakukan penggalangan dalam rangka pembelaan bagi posisi umat yang
dipojokkan atau dizalimi. Gogon tidak memandang bulu, apakah yang
menjadi sasaran aksi atau ?penggugatan? itu tokoh nasionalis, sekuler,
pragmatis atau tokoh Islam sekalipun. Jika menurut ukuran-ukuran
normatif, etis, apalagi hukum sudah tidak patut atau melanggar
rambu-rambu peraturan dan kebesamaan, maka ia akan bereaksi. Itulah gaya
dan citra Gogon! Kultur spontanitas dalam masyarakat Betawi membuatnya
demikian lugas dan tanpa tedeng aling-aling untuk menyikapi berbagai
masalah baik politik, sosial, budaya, keagamaan, dan persoalan aktual
sekalipun.
Masalah Palestina, penderitaan rakyat Afghan, Bosnia, ketidakadilan
dalam politik umat di Aljazair, Turki, kepongahan musuh Islam atas Irak,
Moro, Chechnya dan belahan dunia lainnya, membuat Gogon dan kelompok
umat yang terpanggil selalu tidak tinggal diam. Rapat akbar,
penggalangan solidaritas dengan bantuan kemanusiaan, pernyataan pers
yang tegas dan keras, demonstrasi, pengiriman delegasi dalam forum
internasional, semua ini merupakan bagaian dari bentuk kerja yang
dilakukan Gogon tanpa kenal lelah. Dalam proses yang cukup panjang,
dengan perjalanan waktu yang harus dilalui oleh tokoh yang satu ini,
sampai batas kini ia telah dikenal masyarakat intenasional, bahkan
dengan sinismenya ada surat kabar dari luar negeri yang menjuluki tokoh
ini sebagai ?orang yang berbahaya? (the dangerous man). Akan tetapi itu
tidak membuatnya surut melangkah. Dalam memperjuangkan kepentingan dan
nasib umat Islam, ia serasa tak pernah lelah.
Kadang menuai jelaga. Sikap dan aktivitasnya tidak lepas dari nada pro
dan kontra. Ia kadang mendapatkan kritikan, sinisme sampai fitnah dari
pihak-pihak yang menilai sepak terjang perpolitikannya. Sebutan seperti
radikalis, fundamentalis, politik kekerasan, dan banyak sebutan lainnya
harus diterimanya dengan lapang dada. Apa respons yang dilakukannya?
Kebencian itu ia tanggapi secara proporsional dengan tanpa melepaskan
keinginan untuk selalu membina hubungan sosial secara baik dan wajar
pada siapa pun atau kepentingan mana pun. Buktinya ia yang disebut
fundamentalis, ternyata dapat berkomunikasi secara terbuka dengan
kawan-kawan dari kalangan nasionalis, para jurnalis maupun kalangan
militer. Gogon nampaknya sadar bahwa medan politik dan amaliah betapapun
disemaikan dengan niat amar ma?ruf nahi munkar tidak selalu berbalas
dengan kema?rufan. Itu semua baginya sebuah risiko dari cobaan, ujian,
karena memang sudah sunatullah, bahwa dunia itu bak sebuah permainan.
Dan di permainan itu juga banyak jelaga yang membuaikan, serta
menyebabkan manusia tidak sadar bahwa dunia itu hanyalah satu terminal
yang sebentar saja akan berakhir.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar