Minggu, 04 Maret 2012

Aktivisme sebagai Misi Dakwah



BUKU
Ahmad Sumargono, Dai & Aktifis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat

Membangun Jaringan Umat

Sumargono bukanlah sosok politisi dan dai yang muncul karena fasilitas yang didapat dari kebaikan atau belas kasihan orang lain. Ia juga bukan tipikal politisi yang tampil bak selebritis yang ?dimanjakan?oleh publisitas agar namanya selalu ?terjaga? dan ?melambung? dengan segenap kosmetik politik yang penuh ?cover?, atau membutuhkan stamina permainan yang selalu menyiapkan citra diri (image) yang dibangun lewat jargon-jargon atau cerita mistik guna mengabsahkan kehebatan seorang tokoh.

Sumargono yang akrab dipanggil Gogon adalah seorang anak bangsa sebagaimana aktivis lainnya yang lahir dari suatu pergulatan pemikiran dan aksi perjuangan sosial dari bawah. Secara alamiah, ketika ia mulai menemukan pilihan ?ideologi? perjuangan dan manakala sosialisasi yang secara intens diperolehnya, maka secara naluriah dan hikmah, mulailah ia terjun ke medan aktivitas di lingkungannya: mengorganisir remaja dan jamaah Masjid Nurun ala Nurin; belajar berorganisasi dari seniornya di kampus dan di HMI; mengikuti kursus politik dari Mas Dahlan; belajar agama dari Kiai Mohammad Sobari. Ia pun berinteraksi secara terus-menerus dengan tokoh politik dari kalangan Masyumi seperti Natsir, Buya Hamka, Buya Malik dan lainnya melalui ceramah-ceramah mereka. Ditambah dengan buku-buku gerakan yang dibacanya, Gogon mulai menapak ke padang dakwah di belantara Jakarta pada era 1970-1980-an. Ia berceramah dari mushola ke mushola, dari halaqoh ke halaqoh di kampus-kampus, lingkungan remaja masjid dan aktivitas training yang dilakukan oleh ormas Islam. Nampaknya potensi dan talenta Gogon mulai tergosok untuk menjadi sosok figur yang dikenal. Sikap kritisnya menjadikan dirinya sebagai sasaran ?tembak? di masa rezim Orde Baru, bahkan ia dicap sebagai orang ?berbahaya? atau dangerous man.

a. Membangun kantong-kantong binaan. Gogon tidak berhenti sampai di sini. Ia lalu bergabung dengan Korps Mubalig (KMJ) Jakarta pada 1980-an, sebuah organisasi dakwah yang menghimpun segenap dai yang kritis. Setelah Dalali Umar, ia kemudian menjadi ketua KMJ. Melalui KMJ ini, mulailah namanya dikenal, terutama di wilayah Jakarta, sebagai penceramah yang lugas dan keras tanpa kehilangan argumentasi dan fakta serta dengan cara yang tidak emosional. Wilayah perhatian dakwahnya menjadi lebih luas ketika KISDI berdiri dan Gogon tampil sebagai ketua harian wadah tersebut. Kritikannya bertumpu pada kondisi umat Islam yang selalu dimarjinalkan dan dizalimi dalam kancah politik di satu sisi, serta gugatannya atas keadaan umat Islam di berbagai wilayah dunia yang mengalami penderitaan akibat hegemoni Barat terhadap dunia Islam di sisi lainnya. Kasus bangsa Palestina, Kashmir, Moro, Patani, Afghanistan, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Aljazair, Turki dan Irak menjadi perhatian dari pernyataan-pernyataan dan pidato Gogon di tengah jamaah pengajian maupun kalangan pers. Saat itulah ia mulai memasuki wilayah percaturan politik nasional dan mulai dikenal serta dekat dengan kalangan muda Islam yang selama 20 tahun berada dalam tekanan politik yang hebat dari pemerintah Orde Baru. Ia sering diminta berceramah dan memberikan kursus-kursus intensif soal agama yang dihubungkan dengan kemasyarakatan. Kemauan yang kuat untuk mau turun membina anak-anak muda Islam mengingatkan penulis kepada sosok Mas Dahlan Ranuwihardjo. Apakah Gogon mengambil contoh darinya? Yang jelas ia pernah tinggal dengan Mas Dahlan selama tiga tahun. Mas Dahlan merupakan salah satu contoh pejuang politik yang mau membina anak-anak muda secara intens, dinamis dan ikhlas melalui kursus-kursus politiknya. Ini juga mengingatkan penulis pada para tokoh besar dalam sejarah, seperti HOS Tjokroaminoto. Bukankah ia memiliki murid yang kemudian tercatat dalam sejarah besar bangsa: Soekarno, Kartosuwiryo dan Semaun. Atau Haji Agus Salim, yang melahirkan murid-muridnya seperti Mohammad Natsir, Soekiman, Mohammad Roem, Syamsurizal, yang sangat disegani. Demikian pula Mohammad Hatta dan Syahrir dengan kelompok studinya, dan pemimpin bangsa lainnya yang juga membina kadernya.

b. Dari kantong binaan ke organisasi nasional Tidak heran bila Gogon sangat dikenal kalangan muda dan aktivis. Rumahnya yang berada di kawasan Jakarta Timur, tepatnya di lintasan Jalan H. Baping, pada saat-saat tertentu sering dijubeli anak-anak muda serta tokoh dari berbagai lapisan dan wilayah, tidak terbatas dari Jakarta saja. Di tempat ini secara khusus sering diadakan pelatihan, kursus keagamaan dan peningkatan wacana keumatan maupun politik. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas untuk mengorganisir sebuah event seperti rapat akbar, aksi protes, demo, pernyataan pers sampai pada aktivitas yang bersifat membangun solidaritas serta aksi sosial.

Gogon bagai ?bola bekel? politik, ia menukik ke bawah hingga ke tingkat massa dan menyentuh aspirasinya, lalu melambung lagi ke atas hingga akrab dengan kalangan elit politik lainnya. Ia bergerak dinamis, lincah, karena tanggap terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa dengan memotivasi massa untuk mau peduli dalam menyuarakan keadilan dan kemerdekaan. Gogon pun menghimpun berbagai eksponen kekuatan umat melalui kegiatan silaturahmi secara kontinyu, dan membangun muara persepsi kepada semua pihak untuk membangun cita-cita bersama. Apabila di era Orde Baru ia hanya mampu membangun dan masuk jaringan dari kelompok kecil lalu bergerak ke organisasi sosial yang lebih formal dan terorganisir dengan berjuang di luar parlemen, maka di era Reformasi Gogon tampil dalam arena organisasi massa yang lebih luas jangkauannya, yaitu Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) yang diketuainya; dan di organisasi politik Partai Bulan Bintang. Menjabat sebagai wakil ketua umum, ia kemudian masuk di parlemen selaku ketua fraksi dan wakil ketua DPR guna menyuarakan gagasan dan aspirasi umat Islam. Menurut Gogon, jaringan umat memang perlu dibangun seperti membuat pelatihan, perencanaan dan pengorganisasian untuk jangka depan. ?Bersekolah, melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi dalam rangka meningkatkan kualitas umat, itu juga membangun jaringan umat,? ujarnya.[1] ?Saya melanjutkan sekolah S2 bidang Magister Manajer di IPB, diilhami oleh dorongan ketika duduk di Panitia Anggaran DPR. Di sana banyak pendekatan angka-angka budget (anggaran), saya perlu reorientasi, mulanya belajar dengan Sudradjat Djiwandono, dua kali dilakukan, eh, dia menyuruh saya sekolah. Saya berpikir di sini perlunya membangun jaringan dengan meningkatkan kualitas dan belajar dengan siapa pun.? Tetapi bagi Gogon semua itu dilakukan secara ?alamiah saja.?[2]

Membangun Wadah Perjuangan: KMJ, KISDI dan GPMI

Berdakwah di lapisan bawah (grass roots) bukan perkara yang mudah, apalagi dakwah yang disampaikannya ?beraroma? kesadaran politik dan bersikap kritis dengan keadaan yang dihadapi umat di negeri ini. Era 1980-an merupakan era yang penuh getir dan risiko bagi seorang dai seperti Sumargono. Ia harus siap menghadapi rasa keterasingan (alienasi), karena apa yang disampaikan, sekalipun dengan jujur dan tulus ikhlas, bila masuk wilayah politik dapat terkena ?pinalti? dari pihak keamanan dengan berbagai tudingan. Ini dialaminya ketika masuk ke ?penjara? karena tudingan sebagai aktivis DI/TII. Celakanya pada masa itu, orang yang masuk dan keluar dari penjara karena persoalan politik akan mengalami alienasi sosial, karena orang akan ragu, segan untuk mendekat, khawatir terbawa-bawa akibatnya.

a. Korps Mubalig Jakarta (KMJ). Gogon bergabung dengan Korps Mubalig Jakarta (KMJ), sebuah lembaga yang menghimpun para mubalig di Jakarta, pada tahun 1980-an selepas dari tahanan. Korps Mubalig Jakarta lahir sebagai kepedulian para dai untuk memperkuat barisan guna menghadapi berbagai isu dan tantangan dalam dunia dakwah. Mulanya KMJ dipimpin oleh KH. Dalali Umar, namun karena terjadi kemelut, maka kepemimpinan dipercayakan kepada Sumargono. Organisasi ini sampai sekarang tetap berdiri dan terus berkembang.

b. Komite Solidaritas Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI). Nama KISDI tidak asing di kalangan aktivis dan pengamat sosial politik dan keagamaan, khususnya di kalangan umat Islam. Sejak kelahiran organisasi ini pada tahun 1986, nama Ahmad Sumargono seakan identik dengan lembaga tersebut. Komite ini sebenarnya digagas oleh tokoh senior Masyumi yang disegani yaitu DR. Mohammad Natsir (almarhum) dan sejumlah tokoh lainnya seperti Hussein Umar, Jam ?at Jufri, Zaqi dan Kholil Ridwan. Mulanya wadah ini didirikan oleh berbagai kalangan umat untuk merespons dan membangun solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina. Anggotanya terdiri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Korps Mubalig Jakarta (KMJ), Al-Irsyad dan sebagainya.[3] Gogon sendiri diberi kepercayaan sebagai Ketua Harian KISDI.

Melihat namanya, KISDI seyogianya lebih berorientasi pada kasus-kasus internasional, akan tetapi dalam prakteknya, lembaga ini lebih banyak menggugat masalah domestik: kasus jilbab, perjudian, miras, makanan haram, masalah kristenisasi, sekulerisasi dan Aliran Kepercayaan. Dalam perkembangannya KISDI juga melakukan social action terhadap berbagai peristiwa yang diderita umat Islam di berbagai belahan dunia: penderitaan rakyat Palestina di kamp-kamp pengungsian, Umat Islam di Kashmir, Filipina Selatan, Afghanistan, Bosnia-Herzegovina, Kosovo dan lainnya. Sebaliknya KISDI sangat getol melakukan pengutukan terhadap tindakan biadab Israel dan sikap Amerika Serikat yang ?bermusuhan? terhadap perjuangan umat Islam. Ini dilakukan dengan aksi protes melalui demo dan unjuk rasa. Selain itu aksi yang bernuansa politis (political action) juga dilakukan, misalnya protes dalam persoalan persepsi yang salah atas berbagai kerusuhan di tanah air -- Tasikmalaya, Kupang, Ambon sampai ke Poso; juga perjuangannya yang penuh komitmen yang menuntut penerapan syariat Islam. Sikap Gogon sebagai ?komandan? KISDI yang tanpa tedeng aling-aling ini memang membuat dia sering dicurigai.

Karena protesnya terhadap berbagai pihak, mulai dari majalah Jakarta-Jakarta, harian Kompas, dan CSIS, tidaklah mengherankan jika Gogon dan KISDI dianggap oleh banyak pihak sebagai kelompok yang garang. ?Kami bergerak karena kepentingan umat Islam terancam,? ucap Gogon sebagai Wakil Ketua KISDI.[4]

c. Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI). Wadah ini lahir di tengah-tengah suasana eforia sosial dan politik bangsa Indonesia di masa Reformasi, tepatnya pada bulan Syawal tahun 2000. Gogon sebagai tokoh utama penggagas ini mendapatkan dukungan yang sangat luas dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Lahirnya wadah ini dilatarbelakangi oleh suasana eforia bangsa yang berimbas kepada umat Islam. Berdirinya partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang demikian banyak, ditambah adanya ?ketegangan? politik antara kalangan Nasionalis Islam dengan Nasionalis sekuler yang basis pendukungnya juga sama-sama umat Islam, mendorong untuk berdirinya wadah Islam yang dapat mencairkan situasi itu. Lebih dari itu kelahiran GPMI diharapkan mampu menjadi ?jembatan emas? untuk merajut silaturahmi di antara berbagai lapisan elit Islam yang beredar di berbagai organisasi dan partai. Hal lainnya adalah perlunya wadah yang dapat memberikan perhatian secara lebih holistik menyangkut problematika umat dan bangsa dan itu hanya dapat dilakukan bila segenap potensi umat dapat ?duduk? bersama dan membicarakannya dengan nuansa persaudaraan.

Ketika GPMI dideklarasikan, sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang aktivitas turut hadir: mulai dari kalangan ulama, partisan, wartawan, artis, cendekiawan kampus, pemuda, sampai kalangan massa. Dalam suasana silaturahmi yang diadakan di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, tersedia acara-acara penting selain deklarasi itu sendiri. Sambutan disampaikan H. Ahmad Sumagono, SE selaku Ketua Umum GPMI. Ia menjelaskan panjang lebar mengenai latar belakang, maksud dan tujuan berdirinya organisasi GPMI, yang saat ini telah ada sejumlah perwakilan di tingkat Wilayah dan Cabang. Ceramah disampaikan oleh Prof. DR. Nurcholish Madjid yang memberikan apresiasinya atas berdirinya GPMI serta Tausyiah yang disampaikan KH Sukron Makmun, selaku Wakil Ketua Majelis Syuro organisasi ini. Puncak acaranya adalah pembacaan ?Pernyataan Keprihatinan? GPMI terhadap berbagai perkembangan nasional yang terjadi, ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal GPMI. Hadir dalam acara itu antara lain dari kalangan Partai seperti Taufik Kiemas, Akbar Tanjung, Bachtiar Chamsyah, Hatta Radjasa, Fahmi Idris, Drs. Ibrahim Ambong, MA, Drs. Ade Komaruddin, Hamdan Zulva, Zulvan Z.B. Lindan; dari organisasi Islam antara lain KH. Hasyim Muzadi, Hussein Umar, Din Syamsuddin, Drs. Nabhan Husein; dari kalangan cendekiawan adalah Bachtiar Effendi, Winarno Zein; dari praktisi adalah Muchtar Lutfi, SH, Drs. Erlangga Masdiana, MA; dari kalangan militer adalah Jenderal Hendropriyono, Mayor Jendral Muchdi; kalangan tokoh muda antara lain Adhyaksa Dault, SH dan banyak lagi lainnya. Untuk kepengurusan pada jajaran Pimpinan Pusat adalah DR. Bachtiar Effendi, Drs. Edy Setiawan, Drs. Zahir Khan, SH, Drs. Muchtar Lutfi, SH, Winarno Zein, SE, Hadi Mustafa Djuraid, Spd, sebagai sekretaris jenderal adalah Drs. Firdaus Syam, MA.

Pengurus besar GPMI telah melakukan rapat kerja yang dilakukan di Cisarua Bogor dengan hasil, dirumuskannya AD/ART, Pedoman Kerja Organisasi dan Struktur Organisasi yang telah disetujui dalam rapat pleno. Sebagai organisasi yang bergerak pada aktivitas sosial, GPMI sangat peduli memberikan bantuan dan santunan akibat korban banjir, kebakaran, gempa bumi, serta pembagian hewan qurban bagi para dhuafa. Dalam membangun wacana, maka GPMI telah melakukan sejumlah diskusi, pelatihan bagi para pemuda yang putus sekolah, sampai kepada menghadirkan pembicara yang profesional di bidangnya, dan melakukan aksi kritis untuk peduli terhadap aspirasi publik dengan melakukan tablig akbar. Hal lain adalah melakukan kunjungan ke sejumlah tokoh dan ulama untuk menguatkan tali silaturahmi, di antaranya menjadi tamu kehormatan Wakil Presiden Hamzah Haz di kantor dinasnya.

Menuju Ukhuwah Politik

Islam dan dunia politik merupakan dua sisi dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam bukan ?agama? yang hanya memberikan petunjuk mengenai keyakinan akan keberadaan Tuhan dan bagaimana ritualitas itu harus dilakukan (yang bersifat ubudiah). Sebaliknya, Islam merupakan din, suatu petunjuk yang memberikan bimbingan atau guidance mengenai bagaimana manusia itu dapat beriman dengan baik dan benar, sekaligus beramal shaleh. Lapangan amal shaleh itu dalam prinsipnya sangatlah luas. Dalam Alquran sangat banyak ayat yang menyuruh manusia dan orang beriman untuk berpikir, merenung dan memikirkan kejadian alam, penciptaan dan bagaimana mengambil pelajaran terhadap kejadian-peristiwa masa lalu, termasuk gambaran suatu kaum, bangsa, pemimpin yang zalim, fasik dan pemimpin yang alim, dan hikmah. Alquran juga memberikan penjelasan yang tegas dan nyata mengenai untuk apa Rasul diutus dan mengapa Islam dikatakan sebagai ajaran yang sempurna, sebagai ajaran untuk semua zaman.

Relevansinya. Spirit Islam tentang manusia adalah bahwa manusia diciptakan dari yang satu, dan sesama manusia itu adalah saudara, karena itu konsep ukhuwah atau persaudaraan menjadi penting. Pertanyaannya, apakah persaudaraan itu sebatas sholat dan iman, sebatas nilai spiritualitas untuk tidak saling mencampuri urusan agama di antara sesama manusia yang memiliki perbedaan, ataukah persaudaraan itu pada akhirnya akan menyentuh wilayah bagaimana masyarakat, bangsa, negara dan cita-citanya harus dibina? Bagi logika sosial, apalagi yang hidup dalam pluralitas masyarakat, penghormatan kepada mereka yang beragama lain (tidak ada paksaan dalam beragama), dengan perlunya memikirkan ?bersama? mengenai masalah sosial dan kehidupan masyarakat adalah menjadi dua hal yang sangat penting. Memikirkan masalah sosial dan kehidupan kenegaraan dapat dipahami dalam perspektif Islam sebagai gerak amal-amal shaleh dan Islam memiliki prinsip-prinsip, contoh-contoh, metode-metode atau pendekatan-pendekatan yang tentu bisa sama atau juga ada kekhasan, karena perspektif itu memang datang dari dimensi waktu yang berbeda dan memiliki latar belakang kehadiran misi yang bebeda pula. Dengan demikian medan ukhuwah Islamiah (sesama seagama) harus juga membangun perspektif membina ukhuwah politik internal Islam. Ukhuwah politik tersebut berupa membangun platform, asas perjuangan, strategi dan aksi dengan persepsi yang sama, yang pada dasarnya agar sesama umat Islam tidak mudah goyah dan terpecah belah, sebaliknya semakin memiliki kepercayaan diri yang tinggi, karena pandangan mengenai amal shaleh itu telah terangkum dengan rumusan dan persepsi yang telah saling dipahami sesama kelompok, golongan, kekuatan yang ada di kalangan Islam. Dengan demikian ukhuwah Islamiah dengan ukhuwah politik semakin relevan untuk terus dikembangkan, apalagi di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen (majemuk). Di sinilah pentingnya mengimplementasikan tajuk di atas tersebut.

Sumargono dan Partai Bulan Bintang

Kandungan ajaran Islam membentuk pribadi Muslim dalam dua dimensi, yaitu: iman dan amal shaleh. Dimensi ini membangun spirit setiap insan yang bertakwa untuk selalu terpanggil kepada tanggung jawab vertikal (hablumminallah), yang lebih menekankan ritualitas yang transenden; sedangkan tanggung jawab horizontal (hablumminannas) lebih menekankan peran sosial dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek politik. Seorang Muslim yang sadar atas pemahaman ini, ia akan terpanggil untuk mengaplikasikan peran-peran itu. Dalam persoalan politik, nafas perjuangan seorang Muslim dalam membangun platform perjuangannya tentu tidak akan terlepas dari prinsip ajaran agama Islam. Di antaranya Alquran memberikan dasar perjuangan seorang Muslim melalui firman Allah Swt, ?Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku? (QS. Azzariyat: 56) dan aplikasi medan perjuangan itu harus diniatkan dalam kerangka ?amal ma?ruf nahi munkar.? Tidaklah mengherankan dan sangat logis bila Ahmad Sumargono melakukan pilihan politiknya dengan kendaraan politik yang berasas Islam, dalam hal ini Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam organisasi politik tersebut, Gogon memiliki kedudukan strategis, sebagai wakil ketua umum yang membawahi Kompartemen Bidang Politik dan Pemerintahan.

Mengenai apa dan bagaimana peranan Gogon dalam Partai Bulan Bintang (PBB), adalah sangat penting bagi penulis untuk memaparkan partai ini sebagai organisasi politik yang lahir dan berkembang di era Reformasi, yang memiliki ikatan historis dan hubungan emosional dengan Partai Masyumi, partai Islam yang telah eksis sejak masa perjuangan kemerdekaan.

a. Sketsa Sejarah Islam Politik di Indonesia. Lahirnya sebuah organisasi, apalagi sebuah partai politik, tidak terlepas dari adanya kesadaran komunitas dalam lingkungan masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Kesadaran komunitas tu bukan datang begitu saja, melainkan tumbuh dari kesadaran budaya, di mana nilai-nilai, norma, dan pandangan hidup telah melekat dalam komunitas itu melalui proses sosialisasi dan internalisasi dalam waktu yang lama. Islam merupakan agama yang telah berkembang di hati bangsa Indonsia di wilayah Nusantara ini, dan mayoritas penduduk di wilayah ini bahagian terbesar menganut ajaran Islam dan menjadikan Islam sebagai budaya masyarakatnya. Tidaklah mengherankan ketika penjajah (kolonialis Portugis, Belanda, dan Jepang) bercokol di wilayah Nusantara, mereka mendapatkan perlawanan yang kuat dari penduduknya dengan spirit Islam. Ini dapat dibuktikan bahwa seluruh pemimpin perjuangan melawan penjajah dirintis oleh para pemimpin agama seperti Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Sisingamangaraja, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Pangeran Tidore, Pattimura. Perjuangan ini berlanjut di era pergerakan nasional yang melahirkan pemimpin dan negarawan besar seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, A. Hassan, Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Syahrir, Tan Malaka dan banyak lainnya yang mengaku dirinya sebagai Muslim. Tidak heran ketika Kemerdekaan terwujud, lahirlah Masyumi, partai politik dengan asas dan corak perjuangan yang membawa visi dan misi Islam. Dalam sejarah politik Indonesia modern, Partai Masyumi telah membuktikan kegigihannya untuk memperjuangkan syariat Islam ke dalam konstitusi negara. Refleksi dan amanah dari ajaran Islam serta keinginan umat Islam di Indonesia ini kemudian tertuang dalam Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah sesuatu yang menjadi jiwa dasar negara Indonesia. Karena itu Piagam Jakarta bukanlah ?momok politik.? Bersikukuh dengan sikap seperti ini adalah kemunafikan terhadap kebenaran sejarah itu sendiri.

Namun sejarah berbicara lain. Ketika terjadi persilangan arah di antara sesama pemimpin yang beragama Islam karena perbedaan cara pandang ideologis, muara pertentangan itu diakhiri dengan siapa yang harus disingkirkan dan menyingkirkan di pentas politik anak bangsa Indonesia. Dunia politik memang tidak dapat diprediksi secara pasti, ia sangat mudah cair (fluid) atau berubah. Dalam sejarahnya Partai Masyumi disingkirkan oleh kekuasaan Presiden Soekarno -- semasa Demokrasi Terpimpin selama 6 tahun, dan tidak dapat hidup kembali selama kekuasaan Presiden Soeharto -- masa Orde Baru selama 32 tahun. Munculnya era Reformasi memungkinkan partai Islam bangkit kembali karena era ini tumbuh dengan spirit demokrasi, mengakui keberadaan komunitas politik untuk tampil di permukaan kehidupan politik negara dan diakui eksistensinya dalam kemajemukan politik, yang dalam konteks Indonesia diikat dengan semangat persatuan dan kesatuan negara.

b. Berdirinya Partai Bulan Bintang (PBB). Upaya untuk merumuskan kembali berdirinya sebuah partai politik Islam telah mulai dirintis sejak tahun 1998, ketika Forum Ukhuwah Islamiah (FUI) didirikan pada tanggal 1 Agustus 1998, bertepatan dengan 16 Dzulhijjah 1419 Hijriah. Forum ini kemudian dikembangkan dalam bentuk wadah yang dikenal dengan Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI), berdiri 26 April 1998 bertepatan dengan 1419 Hijriah. Ini kemudian berlanjut dengan kesepakatan bulat pada tanggal 17 Juli 1998, bertepatan dengan tanggal 23 Rabiul Awal 1419 Hijriah dengan mengikrarkan berdirinya Partai Bulan Bintang (PBB).[5]

Ada peristiwa yang menarik dan penting untuk dijelaskan penulis yang disari dari penjelasan Yusril Ihza Mahendra, kini menjadi Ketua Umum Partai. Suatu ketika ia mendapatkan telepon dari Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Kontak ini masuk di saat tengah berlangsungnya suatu upaya yang demikian ?alot? dari berbagai pihak untuk menggabungkan ?dua tokoh? Islam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra ke dalam garis perjuangan yang seirama, yakni memimpin Partai Bulan Bintang dengan asas Islam.[6] Akan tetapi sejarah berkata lain dan bergerak ke arah yang tidak dapat diduga, Amien Rais mengundurkan diri. Ini menyebabkan keputusan Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang bergeser kepada Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, S.H, M.A, tokoh muda yang kalem dan memiliki artikulasi bahasa yang menawan jika ia berbicara. Memang tidak sedikit kalangan umat umat Islam yang terkejut dan tidak menduga atas kegagalan memadukan kedua tokoh tersebut. Dengan demikian harapan besar umat Islam akan ?Dwitunggal? tersebut belum berhasil.[7] Yusril menjelaskan mengenai hal ini:

Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk partai yang berasaskan Islam, sementara Pak Amien Rais ingin membentuk partai yang multiagama, multietnis?Pak Amien Rais bilang PBB platform-nya kekecilan, ibarat baju sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini partai yang sesungguhnya terbuka, semua partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak membuat partai.[8]

Bagi Yusril, simbol ?Bulan Bintang? di masa lalu pernah digunakan oleh Partai Masyumi, sebuah partai politik umat Islam yang pada mulanya dimaksudkan akan menjadi satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, ketika partai ini diumumkan berdirinya pada tanggal 11 November 1945. Yusril sendiri tampil sebagai ketua selain atas dukungan banyak orang, juga datang dari tokoh Masyumi yang masih hidup seperti DR. Anwar Haryono, kawan dekat mantan Ketua Umum Partai Masyumi DR. Mohammad Natsir. Ini dikemukakannya sewaktu berbicara dalam sambutan Musyawarah Kerja Nasional I (Mukernas I) Partai Bulan Bintang.[9] Kedudukan Yusril Ihza Mahendra kemudian dikukuhkan melalui Muktamar I Partai Bulan Bintang di Jakarta, 26 April - 1 Mei 2000, forum tertinggi partai dalam mengambil berbagai keputusan strategis partai.

Mengenai partai ini banyak mengambil inspirasi dari Partai Masyumi di masa lalu, dikatakannya sebagai berikut:

?memang benar partai ini mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari ide besar yakni Islamic Modernization? selama dua belas tahun Pak Natsir saya anggap sebagai mentor politik, dan dari beliaulah saya mengenal para pemikir Islam.[10]

c. Ahmad Sumargono dan PBB. Berdirinya partai dengan menjadikan agama sebagai ?trade mark? platform perjuangan politiknya mendapatkan kritik yang cukup mengagetkan. B.J.Habibie, ketika itu menjabat sebagai Presiden RI, melakukan kritik, ?Partai-partai baru yang nanti didirikan tidak boleh mengandung SARA,? ujarnya. Nurcholish Madjid pun sependapat. ?Meski dari sisi kebebasan berserikat boleh, sebaiknya tidak mengatasnamakan agama,? ujar tokoh Paramadina itu.[11] Akan tetapi para pendukung berdirinya partai Islam pun mempunyai alasan. Ketua KISDI Ahmad Sumargono ikut bersuara, ?Mereka yang berpikiran semacam itu telah terbawa strategi global depolitisasi Islam.?[12]

Gogon sangat konsen dengan pribadi Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, Yusril itu anak muda yang berhasil dalam pendidikan, cerdas, lebih dari itu, sebagai ketua umum jika berdebat selalu leading. Ia berpotensi untuk menjadi pemimpin Nasional. Jabatannya sebagai Menteri baik di masa Gus Dur maupun di era Megawati semata didasari kemampuan yang profesional. Ketika terjadi rivalitas antara B.J. Habibie dengan Megawati dalam pertarungan perebutan kursi Presiden, Gogon menyebutkan kemungkinan calon alternatif: ?Jika ada yang lebih baik, ya mungkin saja. Yusril Ihza Mahendra bisa, namun selain masih muda, ia juga perlu waktu untuk menghapus citra sebagai orang dalam lingkaran Sekretariat Negara, karena bekerja di sana.?[13] Mengenai masalah kepemimpinannya di intenal PBB, ada beberapa catatan Gogon: pertama, kurang turun ke bawah, padahal jika ini dilakukan sungguh luar biasa pengaruhnya bagi dukungan partai; kedua, Masalah kepemimpinan, memang agak berat, tampaknya ada ?kecemburuan? dan persaingan yang tidak sehat, karena melihat pribadinya; ketiga, dengan lugas Gogon mengatakan, ?Saya pernah bilang, sebaiknya jangan jadi orang nomor satu dulu, jadilah orang nomor dua di Indonesia untuk masa pemilihan Presiden sekarang. Saya juga mengusulkan agar Susilo Bambang Yudoyono dijadikan partner dalam proses kepemimpinan ke depan dan masukkan dia ke ?lingkungan Partai.? [14]

Mengenai kelebihan Partai Bulan Bintang, Gogon menyebutkan, ?Kelebihannya pada unsur sentimen Masyumi yang terus terang saja, paling nyata. Pembangunan wilayah di PBB itu paling sempuirna, enggak hanya asal daftar, tiap cabang, ranting, punya kantor, dan itu peninggalan Masyumi. Orang-orang lamanya masih fanatik. Selain itu, PBB tidak memperjuangkan orang, tetapi sistem, maka Amandemen terhadap UUD 1945 tetap akan diperjuangkan, sebab kuncinya di situ. Kalau tidak, akan tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan.? Dalam soal kepemimpinan di PBB, menurut Gogon, kepemimpinan bersifat kolektif. ?Tanpa Yusril Ihza Mahendra, kami tetap akan jalan.[15] Kita lihat bahwa hanya dalam waktu tiga bulan, 25 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PBB telah terbentuk.?[16]

Hal lain yang akan diperjuangkan PBB, menurut Gogon, adalah mengenai dimasukkannya syariat Islam ke dalam konstitusi negara, Piagam Jakarta mesti dihargai. Mengenai ketakutan sejumlah kalangan terutama non-Muslim bila syariat Islam ditegakkan, itu hal yang berlebihan. Karena Islam sendiri sangat toleran dan menghargai perbedaan, temasuk dalam urusan agama. Malah dalam sejarah membuktikan, banyak pemimpin Islam yang sangat demokratis. Mereka tak takut berbeda pendapat, bahkan siap diluruskan jika melakukan kesalahan.[17]

Dalam kiprahnya di Partai Bulan Bintang, di mana ia menjadi salah satu pimpinan teras partai yang dibidani kalangan Masyumi tersebut, Gogon termasuk anggota, fungsionaris yang aktif sejak partai ini mulai dirintis sampai terjadinya deklarasi pendirian partai. Kehadiran Gogon di Partai turut pemberi warna ?wajah? partai. Ia merupakan kombinasi yang saling melengkapi dengan Yusril Ihza Mahendra. Yusril bertipikal romantis, filosofis dan artikulatif dalam menyampaikan visi, misi perjuangan partai; sedangkan Sumargono bersifat populis, evokatif-gamblang dalam mengemukakan pendapat, responsif dan artikulatif untuk membuka komunikasi politik dengan siapa saja. Dalam bahasa politik, mereka berdua dapat menjadi spirit dan ?ladang? suara Partai Bulan Bintang.

Komitmen Perjuangan terhadap Dunia Islam

Gogon adalah salah satu tokoh Islam yang sangat terikat untuk secara terus-menerus menggugah umat dan pemerintah agar tanggap, kritis dan responsif terhadap berbagai probematika yang dihadapi dunia Islam. Tidak hanya sekedar berbicara di hadapan pers atau menulis, malah ia sendiri juga gemar memimpin langsung dan bergabung untuk melakukan aksi-aksi politik damai sebagai upaya melakukan apa yang ia katakan ?pressure? terhadap pihak yang bersentuhan dan memiliki tanggung jawab pada persoalan yang sedang terjadi. Gogon dengan KMJ, KISDI, GPMI dan bekerja sama dengan berbagai komite, front maupun forum keumatan, selalu melakukan penggalangan dalam rangka pembelaan bagi posisi umat yang dipojokkan atau dizalimi. Gogon tidak memandang bulu, apakah yang menjadi sasaran aksi atau ?penggugatan? itu tokoh nasionalis, sekuler, pragmatis atau tokoh Islam sekalipun. Jika menurut ukuran-ukuran normatif, etis, apalagi hukum sudah tidak patut atau melanggar rambu-rambu peraturan dan kebesamaan, maka ia akan bereaksi. Itulah gaya dan citra Gogon! Kultur spontanitas dalam masyarakat Betawi membuatnya demikian lugas dan tanpa tedeng aling-aling untuk menyikapi berbagai masalah baik politik, sosial, budaya, keagamaan, dan persoalan aktual sekalipun.

Masalah Palestina, penderitaan rakyat Afghan, Bosnia, ketidakadilan dalam politik umat di Aljazair, Turki, kepongahan musuh Islam atas Irak, Moro, Chechnya dan belahan dunia lainnya, membuat Gogon dan kelompok umat yang terpanggil selalu tidak tinggal diam. Rapat akbar, penggalangan solidaritas dengan bantuan kemanusiaan, pernyataan pers yang tegas dan keras, demonstrasi, pengiriman delegasi dalam forum internasional, semua ini merupakan bagaian dari bentuk kerja yang dilakukan Gogon tanpa kenal lelah. Dalam proses yang cukup panjang, dengan perjalanan waktu yang harus dilalui oleh tokoh yang satu ini, sampai batas kini ia telah dikenal masyarakat intenasional, bahkan dengan sinismenya ada surat kabar dari luar negeri yang menjuluki tokoh ini sebagai ?orang yang berbahaya? (the dangerous man). Akan tetapi itu tidak membuatnya surut melangkah. Dalam memperjuangkan kepentingan dan nasib umat Islam, ia serasa tak pernah lelah.

Kadang menuai jelaga. Sikap dan aktivitasnya tidak lepas dari nada pro dan kontra. Ia kadang mendapatkan kritikan, sinisme sampai fitnah dari pihak-pihak yang menilai sepak terjang perpolitikannya. Sebutan seperti radikalis, fundamentalis, politik kekerasan, dan banyak sebutan lainnya harus diterimanya dengan lapang dada. Apa respons yang dilakukannya? Kebencian itu ia tanggapi secara proporsional dengan tanpa melepaskan keinginan untuk selalu membina hubungan sosial secara baik dan wajar pada siapa pun atau kepentingan mana pun. Buktinya ia yang disebut fundamentalis, ternyata dapat berkomunikasi secara terbuka dengan kawan-kawan dari kalangan nasionalis, para jurnalis maupun kalangan militer. Gogon nampaknya sadar bahwa medan politik dan amaliah betapapun disemaikan dengan niat amar ma?ruf nahi munkar tidak selalu berbalas dengan kema?rufan. Itu semua baginya sebuah risiko dari cobaan, ujian, karena memang sudah sunatullah, bahwa dunia itu bak sebuah permainan. Dan di permainan itu juga banyak jelaga yang membuaikan, serta menyebabkan manusia tidak sadar bahwa dunia itu hanyalah satu terminal yang sebentar saja akan berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Media Online

pemuda

pemuda